Musim hujan identik dengan perkembangbiakan nyamuk dan peningkatan kasus demam berdarah dengue (DBD). Kondisi ini memerlukan perhatian serius dalam hal pengendalian vektor penular DBD. Ini merupakan tantangan kesehatan masyarakat yang kompleks di wilayah tropis dan subtropis.
Salah satu intervensi yang paling dikenal dan sering diminta oleh masyarakat adalah pengasapan atau dikenal juga dengan fogging. Fogging merupakan penyemprotan insektisida dalam upaya memberantas nyamuk dewasa. Meskipun sering dianggap sebagai solusi cepat untuk memutus rantai penularan saat terjadi kasus, bukti ilmiah menunjukkan bahwa fogging memiliki efikasi (hasil yang didapat dalam pengujian) yang terbatas dan berpotensi menimbulkan berbagai masalah. Maka dalam penanggulangan DBD, peran fogging sebagai intervensi darurat, karena berisiko menjadi masalah dalam pengendalian vektor apabila digunakan dalam jangka panjang.
Mekanisme dan Efikasi Terbatas Fogging
Fogging adalah tindakan pengasapan menggunakan bahan utama pestisida (insektisida) yang bertujuan untuk membunuh nyamuk dewasa (Aedes aegypti dan Aedes albopictus) secara cepat, terutama untuk mengendalikan penyakit DBD. Namun, fogging tidak efektif untuk membunuh telur, larva, atau jentik nyamuk. Padahal dari larva menjadi jentik nyamuk dan dari jentik nyamuk menjadi nyamuk dewasa hanya dalam waktu seminggu. Maka, fogging tidak dapat dijadikan solusi utama dan harus tetap didukung dengan metode pemberantasan sarang nyamuk (PSN)
Keterbatasan fogging dapat diuraikan sebagai berikut:
- Hanya membunuh nyamuk dewasa: Fogging menargetkan nyamuk dewasa yang sedang terbang di luar ruangan dan di dalam rumah, sehingga fogging tidak efektif untuk membasmi jentik, telur, atau larva nyamuk yang berkembang biak di air.
- Efikasi yang Dipertanyakan: Fogging hanya efektif jika dilakukan pada waktu yang tepat (saat nyamuk aktif, umumnya pagi dan sore), dengan dosis yang tepat, dan teknik yang benar. Banyak penelitian menunjukkan bahwa efektivitas fogging untuk mengurangi populasi nyamuk secara signifikan dan memutus transmisi DBD seringkali rendah dan berumur pendek. Hal ini disebabkan oleh Nyamuk Aedes aegypti sering beristirahat di dalam ruangan, di tempat tersembunyi (di balik gorden, di bawah meja), di mana penetrasi kabut insektisida seringkali tidak memadai. Hal lain yang mempengaruhi adalah angin, suhu, dan kelembaban yang dapat memengaruhi penyebaran dan pengendapan partikel insektisida, mengurangi kontak dengan nyamuk target.
- Tidak menghilangkan sumber masalah, karena fogging tidak mengatasi masalah utama yaitu tempat perkembangbiakan nyamuk seperti bak mandi, genangan air, atau tempat penampungan lainnya.
- Potensi dampak negatif, dikarenakan penggunaan bahan kimia dalam fogging memiliki dampak pada lingkungan jika tidak dilakukan dengan benar. Beberapa kejadian yang kerap terjadi adalah ternak (burung, ayam, kucing dan peliharaan lainnya) keracunan.
Fokus yang Salah
Ketergantungan pada fogging sering mengalihkan perhatian dari pilar utama pengendalian dengue, yaitu pengendalian larva melalui kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Nyamuk Aedes menghabiskan sebagian besar siklus hidupnya (sekitar 80%) sebagai telur dan larva di penampungan air. Fogging sama sekali tidak efektif terhadap tahap pra-dewasa ini.
Potensi Masalah Jangka Panjang dan Dampak Lingkungan
Penggunaan yang berlebihan dan tidak tepat dapat menimbulkan tiga masalah utama yang kontra produktif terhadap upaya kesehatan Masyarakat, antara lain:
Resistensi Insektisida, Ini adalah ancaman terbesar dari penggunaan fogging yang tidak bijaksana. Aplikasi insektisida secara berulang, terutama di bawah dosis optimal atau dengan jadwal yang tidak teratur, akan memicu seleksi genetik pada populasi nyamuk. Nyamuk yang memiliki kekebalan terhadap insektisida akan bertahan hidup dan mewariskan gen resisten. Konsekuensi dalam jangka panjang, insektisida yang saat ini efektif akan kehilangan daya bunuhnya, membuat intervensi kimia menjadi mahal dan tidak berguna di masa depan.
Dampak Kesehatan Non-Target, Insektisida yang digunakan dalam fogging (misalnya Malathion atau Cyphenothrin) adalah zat kimia yang tidak hanya membunuh nyamuk, tetapi juga dapat membunuh hewan lain (serangga non-target yang bermanfaat), seperti lebah dan predator alami nyamuk (misalnya capung). Dampak lain adalah kesehatan manusia. Meskipun diatur ke tingkat yang dianggap aman, paparan langsung atau berulang terhadap insektisida dapat menimbulkan risiko kesehatan, terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, dan penderita asma.
Rasa Aman yang Palsu (False Sense of Security), Ketika fogging dilakukan di suatu wilayah, seringkali timbul anggapan di masyarakat bahwa masalah nyamuk telah tuntas. Hal tersebut akan berdampak pada pelemahan pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Rasa aman yang palsu ini menyebabkan penurunan drastis motivasi dan partisipasi masyarakat dalam kegiatan PSN, seperti menguras, menutup, dan mendaur ulang (3M). Padahal, PSN adalah intervensi yang paling berkelanjutan dan efektif untuk mengendalikan vektor DBD.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Fogging seharusnya diposisikan hanya sebagai tindakan darurat (respons outbreak/kejadian luar biasa/wabah) yang sangat terbatas, bukan sebagai program pencegahan rutin. Sesuai rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), fogging hanya boleh dilakukan di area fokus kasus terkonfirmasi dan didahului oleh konfirmasi adanya peningkatan kepadatan nyamuk dewasa (indeks Breteau dan House Index).
Untuk strategi pengendalian vektor penular demam berdarah yang berkelanjutan, fokus penanggulangan harus dikembalikan ke akar masalah, antara lain dengan melakukan:
- Pengendalian larva (PSN), dengan memperkuat/mengintensifkan penyuluhan dan penggerakan masyarakat untuk membersihkan tempat penampungan air.
- Surveilans vektor dan resistensi (nyamuk kebal terhadap racun) melalui pemantauan populasi nyamuk dan pengujian secara rutin terhadap tingkat resistensi insektisida untuk memastikan manfaat penanggulangan secara kimia.
- Alternatif Inovatif dengan penelitian dan menggunakan metode biologi, seperti penggunaan Wolbachia, ikan pemakan jentik atau kutu air, yang menawarkan solusi yang lebih ekologis (ramah lingkungan) dan berkelanjutan.
Fogging memang solusi cepat, namun bisa menjadi masalah besar. Kegagalan untuk menempatkannya sebagai intervensi pelengkap (bukan utama), hanya akan mempercepat munculnya resistensi, membahayakan lingkungan, dan mengikis partisipasi publik dalam program pencegahan yang paling penting. Pencegahan DBD akan sangat efektif jika dilakukan PSN secara berkelanjutan.
Oleh: Nugroho Kuncoro Yudho










