Tuberkulosis (TBC) hingga kini masih menjadi salah satu penyakit menular paling mematikan di dunia. Menurut data World Health Organization (WHO), setiap tahun jutaan orang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis – bakteri penyebab TBC, dan sekitar 1,3 juta di antaranya meninggal dunia. Di Indonesia, TBC masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius, bahkan menempatkan negara kedua dengan beban TBC tertinggi di dunia.
TBC Bukan Penyakit Orang Miskin
Selama ini, TBC sering dikaitkan dengan kemiskinan, lingkungan padat, dan akses kesehatan yang terbatas, hinggu keturunan bahkan kutukan. Kondisi tersebut memang meningkatkan risiko penularan, karena ventilasi buruk, gizi rendah, dan kepadatan penduduk akan mempercepat penyebaran bakteri TBC melalui udara. Namun faktanya, TBC “menyerang siapa saja, tak pilih kasta”. Siapapun bisa tertular TBC jika terpapar penderita aktif dalam waktu yang cukup lama, tidak mengenal status sosial, ekonomi, pendidikan, usia ataupun geografis. Banyak kasus menunjukkan bahwa kalangan profesional, pelajar, bahkan publik figurpun pernah mengalami TBC. Penularan tidak mengenal ruang kelas, profesi, atau kekayaan. Penyakit ini bisa menyerang siapa saja, dari masyarakat miskin di pelosok hingga kalangan berada di perkotaan besar, sehingga TBC menjadi ancaman kesehatan universal.
Penyebab dan Mekanisme Penularan
Beberapa tahun yang lalu, dunia diributkan dan disibukkan dengan pandemi Covid-19. Namun, jauh sebelum itu, TBC sudah menyebar di seluruh dunia, yang tidak hanya menyebabkan tingginya angka kesakitan, tetapi juga angka kematiannya. Penularannyapun mirip dengan Covid-19. Namun, selama sekian tahun, seluruh dunia lengah, sehingga penyebarannya terjadi di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
TBC ditularkan melalui droplet udara (airborne transmission), di mana ketika individu dengan TBC paru aktif batuk, bersin, atau berbicara, maka akan melepaskan bakteri ke udara. Sifat penularan yang berbasis udara ini menjadikan setiap orang yang menghirup udara yang terkontaminasi berisiko terinfeksi.
Bakteri M. tuberculosis dapat menginfeksi siapa pun yang terpapar, terlepas dari kekayaan, jabatan, profesi atau statusnya. Setelah terhirup, bakteri akan mencapai paru-paru. Setelah seseorang terpapar bakteri, maka kondisi yang akan terjadi Adalah sebagai berikut:
- Infeksi TBC Laten: Pada sebagian besar (sekitar 90%) orang yang terpapar bakteri tuberculosis, sistem imun berhasil menahan bakteri, sehingga menyebabkan infeksi laten. Orang dengan infeksi TBC laten tidak sakit, tidak menunjukkan gejala, dan tidak menularkan penyakit, namun bakteri tetap “tertidur” di tubuh.
- Penyakit TBC Aktif: Pada sebagian kecil orang, terutama mereka dengan sistem imun yang lemah, bakteri akan berkembang biak dan menyebabkan penyakit aktif.
Faktor Risiko Tidak Pilih Kasihan
Meskipun TBC dapat menginfeksi siapa saja, beberapa faktor dapat meningkatkan kemungkinan seseorang terpapar dan menjadi TBC aktif. Faktor-faktor ini, meskipun sering dikaitkan dengan kondisi sosial, pada dasarnya adalah faktor biologis dan lingkungan yang dapat dijumpai pada semua lapisan masyarakat.
- Faktor Biologis dan Klinis (Imunokompromi). Faktor ini adalah penentu utama TBC aktif dan tidak mengenal kasta. Individu dari latar belakang ekonomi, sosial, pendidikan atau apapun dapat tertular TBC, terutama yang memiliki kondisi rentan seperti: Infeksi HIV: risiko tunggal terbesar untuk pengembangan TBC aktif. Diabetes Melitus: Meningkatkan risiko TBC aktif hingga tiga kali lipat. Malnutrisi: Melemahkan respons imun, sehingga meningkatkan risiko TBC aktif. Penyakit ginjal kronis atau kanker tertentu. Penggunaan Obat Imunosupresif: Sering digunakan dalam pengobatan penyakit autoimun atau pasca-transplantasi organ. Paparan yang lama dengan penderita TBC aktif, misalnya di rumah, kantor, atau tempat umum tertutup.
- Faktor Lingkungan (kepadatan dan ventilasi). Lingkungan di mana seseorang menghabiskan waktu merupakan penentu penting paparan TBC. Kepadatan Penduduk: Seseorang yang tinggal atau bekerja di ruangan yang padat, berventilasi buruk (seperti rumah tangga besar, penjara, atau bahkan kantor yang ramai) meningkatkan konsentrasi droplet TBC, sehingga meningkatkan potensi penularan TBC. Kontak Erat: Seseorang yang memiliki kontak rumah tangga atau kontak erat lainnya dengan pasien TBC aktif, tanpa memandang kondisi rumah, memiliki risiko tinggi.
- Faktor Perilaku. Perilaku tertentu juga dapat meningkatkan kerentanan, yang dapat ditemukan di semua strata sosial: Merokok dan penyalahgunaan alkohol/narkoba merusak fungsi paru-paru dan menekan sistem kekebalan. Bergantian menggunakan alat makan dan minum akan menjadi media penularan TBC, bahkan juga penyakit infeksi lainnya (misal Hepatitis B). Kurangnya kesadaran memeriksa diri saat muncul gejala batuk lebih dari dua minggu.
Kondisi Rentan TBC
TBC secara fundamental tidak memilih korbannya berdasarkan status sosial, namun statistik global menunjukkan bahwa beban penyakit TBC terbesar berada pada populasi miskin dan rentan. Ini bukan karena bakteri hanya menyerang mereka, tetapi karena ketidaksetaraan sosial-ekonomi memperbesar risiko dan menghambat akses pengobatan. Kondisi tersebut dikarenakan hal-hal sebagai berikut:
- Keterlambatan diagnosis: Akses terbatas ke fasilitas kesehatan yang memadai, biaya transportasi, dan hilangnya upah harian akan menyebabkan keterlambatan diagnosis pada kelompok miskin.
- Kondisi hidup: Kemiskinan sering kali memaksa individu untuk tinggal di rumah yang padat dan lembap dengan ventilasi buruk, menciptakan kondisi ideal untuk penularan.
- Malnutrisi: Individu yang mengalami malnutrisi (masalah gizi) akan melemahkan pertahanan imun tubuh terhadap bakteri tuberculosis.
- Kepatuhan pengobatan (dampak ekonomi): Pasien dari latar belakang ekonomi rendah lebih mungkin mengalami kesulitan mematuhi pengobatan TBC jangka panjang (minimal 6 bulan) karena bekerja/tekanan mencari nafkah, yang berisiko menyebabkan TBC Resistan Obat (TBC RO) yang lebih sulit dan mahal untuk diobati.
Kesimpulan
TBC adalah penyakit yang diakibatkan oleh infeksi bakteri M. tuberculosis, dapat menginfeksi siapa saja yang menghirup droplet dari orang yang terinfeksi. TBC tidak memandang kasta, profesi, pendidikan atau kekayaan. Ia bisa menginfeksi siapapun yang lalai menjaga kesehatan atau abai terhadap lingkungan sekitar. Oleh karena itu, kewaspadaan, kepedulian, dan empati adalah senjata utama dalam memutus rantai penularan.
Walaupun demikian, faktor-faktor seperti lingkungan, nutrisi, dan akses ke layanan kesehatan seringkali berkaitan erat dengan status sosial-ekonomi. Oleh karena itu, upaya pemberantasan TBC tidak hanya berfokus pada pengobatan, tetapi juga mencakup perbaikan lingkungan, gizi dan perilaku sosial untuk memastikan bahwa lingkungan hidup yang sehat dan akses pengobatan yang merata tersedia bagi setiap individu. Penanggulangan TBC bukan hanya tugas tenaga medis dan tenaga kesehatan, tetapi menjadi tanggung jawab kemanusiaan setiap orang.
Oleh: Nugroho Kuncoro Yudho